Pengembangan Karakter Bangsa Berbasis Nilai-Nilai Keislaman

Posted by azi hasan arif Saturday, May 12, 2012 0 comments

Sebagaimana telah dimaklumi, maju – mundurnya kehidupan sebuah bangsa sangatlah bergantung kepada karakter bangsa itu. Jika mereka memiliki karakter yang baik, maka akan baik pulalah nasib bangsa itu. Akan tetapi sebaliknya, apabila karakter bangsa itu buruk atau lemah, maka bangsa itupun akan mengalami kemunduran, bahkan kehancuran. Allah swt telah menegaskan tentang hal ini dalam firman-Nya yang sangat populer yakni surat 13 (Al-Ra’d): 11. Di sini Allah menegaskan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan atau nasib suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Di dalam surat 8 (Al-Anfal) : 53 dinyatakan bahwa Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah Dia berikan kepada suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.
            Apabila ayat terakhir ini menjelaskan perubahan nasib suatu bangsa dari nasib baik berlimpah nikmat menjadi bernasib buruk dan jelek, maka ayat yang disebut pertama menunjuk kepada pengertian yang lebih umum. Nasib suatu bangsa bisa berubah pula dari buruk atau mundur menjadi baik atau maju bergantung kepada kemampuan mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka (ma bi anfusihim).
            Perlu dicatat di sini bahwa kedua ayat dimaksud di atas sering disalahpahami dengan mengartikannya sebagai penegasan bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa sehingga bangsa itu sendiri yang merubah nasib mereka. Sepintas lalu, terjemahan seperti ini tampak sangat menarik dan progresif dalam menempatkan manusia pada posisi yang sangat strategis, namun di lain pihak terjemahan ini telah memarginalkan posisi Tuhan dalam mengatur dan menentukan nasib manusia. Penerjemahan ini relevan untuk aliran teologi Mu’tazilah yang menempatkan manusia pada posisi yang kuat nyaris tak terbatas, berhadapan dengan kekuasaan Allah. Manusialah yang menentukan nasibnya sendiri, bukan Allah. Hal ini jelas berbeda dengan aliran teologi Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Sunni) yang dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia. Bagi kaum Sunni, Tuhanlah yang menentukan dan merubah nasib manusia. Namun hal itu tidak berarti bahwa manusia tidak punya peran dan kontribusi dalam penentuan dan perubahan nasib mereka. Peran awal justru datang dari manusianya itu sendiri, yakni ketika mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka (ma bi anfusihim). Maka ketika hal itu terjadi, Allah akan mengubah nasib mereka.
            Pemahaman kaum Sunni ini telah menempatkan Allah dan manusia secara proporsional. Allah sebagai Dzat yang Maha Kuasa tetap sebagai penentu mutlak bagi perubahan nasib manusia, sementara manusia tidak dinafikan peran dan potensinya dalam mengubah nasib dirinya.
            Kesalahan dalam memahami kedua ayat di atas terkait erat dengan ketidak-cermatan dalam memaknai kalimat ma bi anfusihim. Kalimat ini sering diartikan sama dengan kalimat ma bi qawmin (apa yang ada pada suatu kaum yakni nasib mereka). Penyamaan ini tidak dapat dibenarkan, karena ma bi qawmin sangat berbeda dengan ma bi anfusihim. Yang pertama menunjuk kepada pengertian keadaan atau nasib suatu bangsa, sedangkan yang kedua menunjuk kepada pengertian sifat-sifat kejiwaan atau karakter bangsa itu. Andai kata keduanya sama-sama menunjuk kepada pengertian nasib, pastilah ayat itu berbunyi: hatta yughayyiruhu bi anfusihim, bukan hatta yughayyiru ma bi anfusihim, seperti yang termaktub dalam al-Qur’an.
            Berdasarkan atas penerjemahan yang benar seperti dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa diubahnya nasib suatu bangsa oleh Allah tergantung kepada sejauh mana bangsa itu telah mengubah karakter mereka. Jika karakter mereka yang sudah baik diubah menjadi karakter yang buruk, maka Allah akan mengubah nasib bangsa itu menjadi buruk. Demikian pula sebaliknya, perubahan bisa terjadi dari buruk menjadi baik. 1)

Karakter dalam Bahasa Islam
            Setelah kita memahami bahwa perubahan nasib suatu bangsa ditentukan oleh sejauh mana telah terjadi perubahan karakter pada mereka, maka perlu dicermati apa yang dimaksud dengan karakter itu dalam bahasa agama (Islam). Setelah kita maklumi bahwa istilah karakter menunjuk kepada pengertian seperangkat sifat kejiwaan yang tertanam sedemikian rupa pada diri manusia, yang menjadi penggeraknya dalam bertingkah laku dalam kehidupan; maka istilah keagamaan yang paling sesuai dengan istilah itu ialah akhlaq yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata khuluq. Hujjatul-Islam Abu Hamid al-Ghazali mendefinisikannya sebagai sifat kejiwaan yang sangat mantap, yang dari sifat kejiwaan itu muncul perilaku dengan mudah dan spontan, tanpa membutuhkan pemikiran dan perenungan. 2)
            Akhlaq seperti dipahami oleh Al-Ghazali ini sangat sesuai dengan pengertian karakter, yakni sifat kejiwaan yang telah menjadi sebuah watak pada diri manusia. Manusia bergerak ke arah kebaikan atau keburukan, sesuai dengan karakter yang dimiliki. Akhlak dalam pengertian seperti inilah yang oleh penyair Mesir terkemuka, Ahmad Syawqi Bik disebut sebagai penentu eksis tidaknya suatu bangsa 3). Dalam ajaran Islam, akhlak menempati kedudukan yang sangat penting dan strategis. Salah satu sabda Nabi yang sangat popular menyatakan bahwa tujuan beliau diutus sebagai rasul oleh Allah hanyalah untuk menyempurnakan kesalehan akhlak (shalih al-akhlaq) atau kemuliaan akhlak (makarim al-akhlaq). 4)
            Ada beberapa hal yang layak diperhatikan pada hadits dimaksud, antara lain bahwa hadits itu menggunakan kata yang menunjukkan arti pembatasan (qashr) yakni dengan kata innama. Dengan demikian, hadits ini membatasi tujuan diutusnya nabi hanya pada tujuan untuk membangun akhlak, bukan untuk tujuan yang lain. Untuk itu, maka perlu pengertian yang komprehensif tentang akhlak ini agar supaya layak untuk menjadi tumpuan satu-satunya tujuan risalah dan kenabian Muhammad saw. Pengertian yang komprehensif yang kita maksud ialah akhlak sebagai karakter dan moralitas. Sebagaimana telah dimaklumi, membangun manusia yang bermoral dan berkarakter merupakan tujuan akhir dari ajaran Islam.
            Pengertian akhlak yang sangat komprehensif ini perlu terus disosialisasikan. Selama ini pengertian akhlak mengalami distorsi yang luar biasa, sehinggga akhlak sering dimaknai sebagai etiket pergaulan yang penuh basa-basi. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila terjadi seseorang yang sudah jelas melakukan kejahatan moral yang serius, misalnya korupsi uang Negara atau rakyat masih dianggap sebagai orang yang berakhlak mulia. Hal ini disebabkan kemampuan yang bersangkutan untuk menampilkan diri dengan sopan dan santun dalam etiket pergaulan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai Keislaman dan Pengembangan Karakter Bangsa
            Sesuai dengan keberadaanya sebagai agama yang bertujuan akhir membangun akhlak dalam pengertiannya yang komprehensif, maka sudah sewajarnya apabila Islam sarat dengan nilai-nilai yang luhur dalam membangun karakter dan moralitas suatu bangsa. Berikut ini akan dikemukakan beberapa nilai pokok yang merupakan karakteristik dari ajaran Islam. Hal ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menafikan nilai-nilai luhur yang lain yang ada dalam ajaran Islam yang juga sangat penting dalam pengembangan karakter bangsa.
            Salah satu dari nilai-nilai luhur itu ialah komitmen Islam kepada kedamaian (salam). Hal ini sangat penting untuk ditekankan, terutama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa akhir-akhir ini yang banyak diwarnai oleh kerusuhan dan kekerasan atas nama agama. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan namanya yang mengacu kepada kata al-silm dan al-salam, komitmen Islam kepada perdamaian dan keselamatan, sungguh sangat kuat. Hal itu antara lain dimanifestasikan dalam syi’ar pergaulan hidup sehari-hari yang berupa ucapan salam. Dalam ucapan itu terkandung makna yang sangat dalam tentang komitmen Islam dan muslim terhadap kehidupan yang damai, terlepas dari adanya praktek yang tidak sejalan dengan nilai luhur tersebut dalam kehidupan umat Islam.
            Memaknai ucapan salam secara benar yakni untuk komitmen kepada kehidupan yang damai ini, sangat penting dalam Islam. Nabi menyebut penyebar luasan salam (ifsya’ al-salam) sebagai media terciptanya komunitas yang saling mencintai. 5)
            Erat kaitannya dengan dengan prinsip kedamaian ini, terdapat nilai luhur lain yang melekat kuat dalam ajaran Islam, yakni nilai kasih sayang (rahmah / rahmat). Dalam surat 21 (al-Anbiya’) : 107 ditegaskan bahwa tujuan diutusnya Muhammad saw sebagai rasul adalah sebagai rahmat bagi semesta alam. Dengan demikian, umat Islam sebagai pengikut nabi Muhammad saw memikul tanggung-jawab untuk menyebarkan rahmat kasih sayang, bukan hanya untuk umat manusia – apalagi dibatasi dengan orang-orang mukmin semata- melainkan juga untuk segenap makhluk Allah, termasuk flora, fauna dan lingkungan hidup seluruhnya. Oleh karenanya, kecenderungan sebagian orang Islam untuk mengedepankan kekerasan apalagi tindakan teror dalam memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini, sangat bertentangan dengan nilai rahmat yang dikembangkan Islam.
            Di samping itu, nilai keadilan merupakan nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Perintah untuk menegakkan keadilan bertebaran dalam banyak ayat al-Qur’an dan hadits-hadits nabi. Keadilan yang sering didefinisikan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya (wadl’u al-syay-i fi mahallih) memiliki cakupan yang luas. Setidak-tidaknya keadilan yang sangat dibutuhkan oleh suatu bangsa ialah keadilan dalam penegakan hukum (law enforcement / iqamat al-hukm) dan keadilan dalam rekrutmen personalia dalam tugas dan jabatan publik. Tentang mutlak pentingnya keadilan dalam penegakan hukum bagi suatu bangsa, antara lain dapat disimak dari pernyataan nabi tentang sebab kehancuran umat-umat terdahulu, yakni karena mereka diskriminatif dalam penegakan hukum.6)
            Adapun tentang mutlak pentingnya keadilan dalam rekrutmen jabatan publik, antara lain tergambar dalam hadits nabi tentang penyia-nyiaan amanah, yakni ketika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (tawsid al-amr ila ghair ahlih) 7). Pada saat seperti itulah –kata Nabi – kehancuran suatu bangsa akan terjadi. Untuk itulah, Islam memerintahkan agar setiap urusan harus diserahkan kepada ahlinya (tawsid al-amr ila ahlih), yang dalam bahasa manajemen moderen disebut dengan prinsip the right man on the right place.
            Di luar ketiga nilai luhur di atas, masih terdapat berbagai nilai luhur Islam yang lain, seperti kebenaran dan kejujuran yang semakin hari semakin sulit dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan sebaliknya, kebohongan dalam berbagai dimensinya, termasuk kebohongan publik banyak mewarnai kehidupan masyarakat kita pada waktu-waktu terakhir ini.
            Sebagai pengantar diskusi, uraian singkat tentang beberapa nilai pokok Islam di atas dirasa sudah cukup untuk memancing pengungkapan nilai-nilai luhur yang lain. Hal ini mungkin saja berlangsung dalam diskusi kita kali ini, di samping bisa pula dalam kesempatan yang lain. Wallahul-Muwaffiq wa Huwal-Musta’an.
                                                                        -----
Catatan Akhir
1) Yusuf al-Qaradlawi, al-Siyasah al-Syar’iyyah, Cairo : Maktabah Wahbah, 1998, hal. 320.
2) M. Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam, Cairo : Muassasah al-Khaniji, 1963, hal. 148.
3) M. Athiyyah al-Ibrasyi, Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, Cairo : ‘Isa al-Babi al-Halabi, t.t., hal. 40.
4) Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad, Beirut : Dar Shadir, t.t.
5) ‘Abd al-‘Aziz al-Khuli, al-Adab al-Nabawi, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., hal. 209 (H.R. Muslim, Abu Dawud dan al-Tarmidzi dari Abu Hurairah).
6) ‘Abd al-Karim Zaydan, al-Fard wa al-Dawlah, USA : IIFSO, hal. 61-62.
7) Taqi al-Din ibn Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah, Cairo : Dar al-Kitab al-‘Arobi, 1969, hal.11 (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah).



Sumber  :
A.Malik Madaniy 


* Disampaikan dalam Workshop Pembinaan dan Pengembangan Karakter Bangsa yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah-Kementerian Agama RI di Hotel Endah Parahyangan Bandung pada tanggal 5 April 2011.

Posting1

Posted by azi hasan arif Friday, May 11, 2012 0 comments
Jajal disit